Tuesday, April 10, 2012

Asuransi Untuk Pengentasan Duduk Perkara Kemiskinan

 Efektifkah Dalam Penanggulangan Kemiskinan Asuransi Untuk Pengentasan Masalah Kemiskinan
Pemberdayaan Asuransi Untuk Warga Miskin, Efektifkah Dalam Penanggulangan Kemiskinan? Saat ini, asuransi untuk warga miskin masih menjadi tanda tanya dan juga materi perdebatan.


Asuransi merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap segala bentuk kekayaan dan kepemilikan, dengan keinginan bahwa kekayaan dan kepemilikan tersebut suatu waktu menjadi alat pinjaman bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain sebagai perlindungan terhadap kepemilikan, asuransi juga mempunyai kegunaan dalam meningkatkan nilai investasi di masa depan, di mana ketika ini terdapat banyak tubuh asuransi yang melayani investasi. Yang menjadi pertanyaan ketika ini,  apakah sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempunyai simpanan yang sanggup dibeli untuk perlindungan asuransi? Jika pun ada kelebihan konsumsi, uang berlebihnya lebih banyak disimpan di bank. Lalu bagaimana dengan warga miskin yang tidak punya uang berlebih? Apakah produk asuransi menjadi barang glamor bagi mereka yang secara finansial masih berada di bawah garis kemiskinan?

Sigma World Insurance in 2010 mencatat bahwa Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang terpuruk dalam upaya pelindungan atau perlindungan terhadap jiwa manusia. Ukurannya ialah Insurance Density dan Insurance Penetration, yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-11 dari  27 negara di Asia. Posisi tersebut menurut total premi Indonesia pada tahun 2010 sebesar 10,7 Milyar Dollar. Premi tersebut meliputi asuransi jiwa dan asuransi umum.  Jumlah premi tersebut bekerjsama meningkat 28,91 persen dibandingkan tahun 2009.

Jepang merupakan peringkat pertama dalam daftar ini, dan tiga negara ASEAN yaitu Singapura, Thailand, dan Malaysia yang berada pada peringkat 7 hingga 9, jauh di atas Indonesia.  Jika total premi tersebut dibagi dengan GDP- dikenal dengan insurance penetration- maka nilanya hanya 1,5 persen dari GDP. Untuk indikator tersebut, Indonesia menempati  peringkat ke-16. Jika total preminya dibagi dengan jumlah penduduk  maka  posisi Indonesia tambah melorot, yaitu pada posisi ke 22 di Asia dengan nilai premi per kapita sebesar 45.8 Dollar, atau sekitar Rp 400 Ribuan saja.

Untuk indikator asuransi jiwa, laporan yang dirilis Swiss Ree tersebut mencatat total premi asuransi jiwa di Indonesia sebesar 7.2 Milyar Dollar. Kecederungannnya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya,  yaitu  meningkat sebesar 31.1%. Bolehlah kita tidak perlu berkecil hati alasannya ialah Indonesia berada di peringkat ke sepuluh di Asia. Nilai insurance density- yaitu nilai premi asuransi jiwa dibagi jumlah penduduk – ialah sebesar 30,9 USD, atau hanya Rp 275 Ribu.

Indikator tersebut menyebabkan keprihatinan,apakah memang seluruh masyarakat Indonesia tidak sanggup menyisakan uangnya untuk pinjaman dirinya dari segala risiko yang mengancam jiwa atau kesehatan dirinya? Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor..

Pertama, kondisi tersebut sanggup saja dikarenakan fungsi dan tugas asuransi belum dan kurang dikenal oleh sebagian besar orang Indonesia. Orang Indonesia lebih mengenal produk-produk perbankan dibanding jasa asuransi.Kurang dikenalnya fungsi dan tugas asuransi menjadi pekerjaan rumah dari pelaku industri asuransi.

Kedua, orang Indonesia mungkin sudah mengenal asuransi, namun belum merasa butuh atau perlu membeli asuransi. Sikap ini sanggup saja dipengaruhi oleh persepsi bahwa asuransi itu ialah “bisnis janji”. Kita membeli produk asuransi tetapi keuntungannya gres dirasakan nanti. Bahkan sanggup saja klaim asuransi tidak terjadi kalau kita baik-baik saja, atau tidak mengalami tragedi alam yang diproteksi oleh jasa asuransi. Faktor ini lebih banyak bekerjasama dengan kesadaran atau tanggung jawab. Apalagi kalau manfaat asuransi tersebut menjadi hak atau warisan dari anak atau keturunannya. Kepastian manfaat finansial bagi anak atau keluarga seharusnya sanggup menjadi motivasi utama untuk membeli asuransi.

Ketiga, orang tidak membeli asuransi alasannya ialah memang tidak punya uang untuk membelinya. Walaupun mereka tahu fungsi dan peranan asuransi, rasanya percuma saja alasannya ialah ketidakberdayaan finansial menciptakan asuransi hanyalah mimpi. Jika kondisinya sudah begitu, apakah pemerintah harus lepas tangan dan membiarkan jiwa sebagian masyarakat Indonesia seolah tidak berharga sama sekali?

Berkenaan dengan faktor ketiga tersebut, pemerintah memang sudah melaksanakan banyak sekali upaya, di antaranya ialah jaminan kesehatan masyarakat bagi warga miskin, keberadaan asuransi sosial ibarat jasa raharja, kewajiban perusahaan untuk mengasuransikan tenaga kerjanya melalui jadwal jamsostek. Bahkan, UU Sistem Jaminan Sosial pun sudah diberlakukan semenjak pemerintahan ibu Megawati pada tahun 2004. Namun, UU tersebut tampaknya belum ada gaungnya. Memang masih menunggu terbentuknya forum yang mempunyai kewenangan dalam mengelola dana untuk jaminan sosial, yang hingga ketika ini masih diperdebatkan di legislatif.

Atau, kita mungkin pernah mengenal micro-insurance yang memang diperuntukan bagi masyarakat yang secara finansial masih kurang beruntung. Bisa saja, perusahaan asuransi menjual produk asuransi dengan nilai premi yang kecil, bahkan sanggup ditarik per hari. Secara teoritis itu sanggup saja diberlakukan. Kita lihat saja premi asuransi jiwa per kapita sebesar 275 ribu per orang. Itu berarti hanya menyediakan kurang dari 1000 rupiah per hari. Rasanya uang sebesar itu masih sanggup disisihkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bukankah harga rokok atau gorengan saja lebih mahal dari itu?

Akhirnya, ini kembali ke kesadaran kita semua- baik pemerintah maupun masyarakat, termasuk juga tugas para pelaku atau praktisi asuransi di Indonesia.

Next

Related


EmoticonEmoticon