Opini Pemberdayaan Dan Dinamika Politik Pilwakot mempunyai relasi dan keterkaitan tertentu. Pilkada Kota Bengkulu untuk menentukan pemimpin untuk masa bakti 2012-2014 telah diselenggarakan pada 19 September 2012 lalu. Banyak impian tersimpan di sana, diiringi pula pesimisme dan apatisme bagi sebagian orang.
Pilwakot Kota Bengkulu menghasilkan 2 pasangan kandidat untuk kembali bertarung pada putaran kedua. Harapan untuk memenangkan kompetisi dalam 1 putaran pupus alasannya ialah ternyata 4 pasangan kandidat favorit tidak ada yang berhasil menembus angka perolehan bunyi lebih dari 30% plus 1. Itu artinya, bagi kedua pasangan yang lolos, harus kembali melaksanakan penilaian dan tindak lanjut, baik dari sisi taktik, teknik dan biaya. Sementara untuk pasangan lain yang gagal, meskipun tidak berhasil namun keberadaan bunyi yang mereka peroleh akan menentukan keberhasilan 2 pasangan yang dimaksud.
Terlepas dari seberapa besar upaya yang dilakukan, dan apapun hasilnya, pemenangnya ialah warga Kota Bengkulu sendiri. Ada impian besar di dalamnya, khususnya bagi warga yang berstatus kurang bisa (miskin) yang belum tersentuh secara maksimal oleh pemerintahan yang sudah ada sebelumnya. Jargon kampanye yang menaikkan semangat masyarakat berikut upaya-upaya pendekatan yang dilakukan pasangan kandidat dengan mendistribusikan barang-barang kebutuhan jangan hanya direalisasikan hanya pada ketika menjelang kepentingan-kepentingan politik ibarat yang sedang terjadi sekarang.
Fenomena bahwa pada pemilihan putaran pertama terdapat golput atau pemilih yang tidak menentukan yang menyentuh angka lebih dari 30% mempunyai banyak opini. Mungkin saja kelompok masyarakat ini belum tahu secara detil siapa pasangan kandidat yang harus mereka pilih untuk memimpin dan memperlihatkan impian kesejahteraan kepada mereka. Bisa jadi pula masyarakat hanya mengambil untung dari pola-pola pendekatan material dan tebar pesona para pasangan kandidat. Tapi opini lain juga bisa jadi benar, bahwa masyarakat ketika ini sudah paham atau paling tidak pernah punya pengalaman dalam hal politik, sehingga mereka merasa tidak berkewajiban harus mendukung siapa pun dari pasangan kandidat diiringi pesimisme bahwa toh ketika mereka memimpin mereka belum tentu diperhatikan.
Menjelang pemilihan putaran kedua, ada baiknya pasangan kandidat yang lolos berguru dari Jokowi-Basuki yang memenangi Pilgub DKI Jakarta. Ternyata keduanya melaksanakan contoh pendekatan komunikatif dengan latar belakang pemberdayaan, bukan dengan bahan dan tebar pesona di media-media serta unjuk kemampuan dalam hal administrasi data. Opini mengenai manfaat media dalam pilwakot pernah saya jadikan concern alasannya ialah ketidakberimbangan pemberitaan di sebuah televisi lokal akhir tentang kampanye politik satu pasangan kandidat yang memborong durasi program reguler serta seakan-akan meniadakan pasangan lain.
Cara untuk menciptakan masyarakat cerdas bukan hanya dari tebar pesona dan mengatasnamakan data sebagai kekuatan, namun juga bagaimana menciptakan masyarakat merasa saling memiliki, bahwa kota ini memang milik mereka dan sudah kewajiban mereka untuk turut membangun bantu-membantu pemerintah. Pemberdayaan sebagai salah satu bentuk pendampingan serta fasilitasi sosial merupakan kata kunci yang harus dipertimbangkan, alasannya ialah dengan cara meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui tentang saling membutuhkan inilah diharapkan mereka mau diajak bekerja bersama dan bantu-membantu bekerja.
Kembali ke tentang di atas, seandainya para pemimpin dan atau para pasangan calon pemimpin dalam skala lokal ibarat di Kota Bengkulu tahu, bahwa yang mereka jadikan objek dan kekuatan ialah masyarakat, maka sudah tentu mereka harus bertanggung jawab terhadap apa yang mereka ambil dari masyarakat. Perhatian, itulah yang diperlukan, bukan balik tubuh dan hanya ucapkan salam terima kasih. Semoga tebar pesona dan pendekatan material itu bukan sebatas kampanye tarik suara, tapi juga mengembalikannya dalam bentuk yang nyata.
oleh roben-warga masyarakat
EmoticonEmoticon